بسم الله الرحمن الرحي
Mengenal Bid’ah
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t memaparkan tentang bid‘ah: “Bid‘ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datang dari Nabi r sebagaimana termaktub dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah berarti perkara itu adalah bid‘ah. Ini merupakan definisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid‘ah. Sementara bid‘ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua:
Pertama: Bid‘ah I’tiqad (bid‘ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid‘ah ini juga diistilahkan bid‘ah qauliyah (bid‘ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah r yang diriwayatkan dalam kitab sunan:
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan.”
Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu, wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab: “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku.”
Yang selamat dari perbuatan bid‘ah ini hanyalah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi r dan apa yang dipegangi para shahabat g dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid, masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman, dan selainnya.
Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/ keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu‘tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid‘ah dalam perkara i‘tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya Ahlus Sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.
Kedua: Bid‘ah Amaliyah (bid‘ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid‘ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah I) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid‘ah amaliyah dan masuk dalam sabda Nabi r:
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak.”
Karena itulah, termasuk kaidah yang dipegangi para imam termasuk Al-Imam Ahmad t dan selain beliau menyatakan:
“Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)”
Yakni tidak boleh menetapkan/ mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya r.
Dan mereka menyatakan pula:
“Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang).”
Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan suatu muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah I dan Rasul-Nya r haramkan. Sehingga merupakan kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid‘ah yang tidak boleh dikerjakan. Padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan). Maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid‘ah (mubtadi’). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan adat itu sendiri terbagi tiga:
Pertama: yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan, maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah I).
Kedua: yang membantu/ mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan, maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga: adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan), maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan).
Wallahu a‘lam.
(Al-Fatawa As-Sa‘diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah)
Pertama: Bid‘ah I’tiqad (bid‘ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid‘ah ini juga diistilahkan bid‘ah qauliyah (bid‘ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah r yang diriwayatkan dalam kitab sunan:
Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu, wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab: “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku.”
Yang selamat dari perbuatan bid‘ah ini hanyalah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi r dan apa yang dipegangi para shahabat g dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid, masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman, dan selainnya.
Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/ keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu‘tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid‘ah dalam perkara i‘tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya Ahlus Sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.
Kedua: Bid‘ah Amaliyah (bid‘ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid‘ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah I) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid‘ah amaliyah dan masuk dalam sabda Nabi r:
Karena itulah, termasuk kaidah yang dipegangi para imam termasuk Al-Imam Ahmad t dan selain beliau menyatakan:
Yakni tidak boleh menetapkan/ mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya r.
Dan mereka menyatakan pula:
Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan suatu muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah I dan Rasul-Nya r haramkan. Sehingga merupakan kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid‘ah yang tidak boleh dikerjakan. Padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan). Maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid‘ah (mubtadi’). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan adat itu sendiri terbagi tiga:
Pertama: yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan, maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah I).
Kedua: yang membantu/ mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan, maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga: adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan), maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan).
Wallahu a‘lam.
Perkara Baru dalam Sorotan Syariah
Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim sehingga tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah I maupun Rasulullah.
Hadits yang dibawakan oleh istri beliau yang mulia Ummul Mukminin ‘Aisyah x ini, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih-nya, pada Kitab Ash-Shulh, bab Idzashthalahuu ‘ala shulhi jaurin fash shulhu marduud no. 2697 dan juga diriwayatkan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya, pada Kitab Al-Aqdhiyyah yang diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi t selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, bab Naqdhul ahkam al-bathilah wa raddu muhdatsaatil umuur, no. 1718. Al-Imam Muslim t juga membawakan lafadz yang lain dari hadits di atas, yaitu :
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak.”
Hadits ini juga diriwayatkan sebagian imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Dan kami mencukupkan takhrijnya pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam.” Beliau menambahkan lagi: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil.” (Syarah Shahih Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Al-Bukhari, beliau berkomentar: “Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama.” (Fathul Bari)
Al-Imam Ibnu Rajab Al Hambali t dalam kitabnya Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya, sebagaimana hadits “Amal itu tergantung pada niatnya” merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah I, pelakunya tidaklah mendapatkan pahala atas amalannya itu. Demikian pula setiap amalan yang tidak terdapat perintah dari Allah I dan Rasul-Nya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/176)
Hadits ini juga diriwayatkan sebagian imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Dan kami mencukupkan takhrijnya pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam.” Beliau menambahkan lagi: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil.” (Syarah Shahih Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Al-Bukhari, beliau berkomentar: “Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama.” (Fathul Bari)
Al-Imam Ibnu Rajab Al Hambali t dalam kitabnya Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya, sebagaimana hadits “Amal itu tergantung pada niatnya” merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah I, pelakunya tidaklah mendapatkan pahala atas amalannya itu. Demikian pula setiap amalan yang tidak terdapat perintah dari Allah I dan Rasul-Nya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/176)
Agama Ini telah Sempurna
Allah I berfirman :
Allah I berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata tentang ayat di atas: “Hal ini merupakan kenikmatan Allah I yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah I telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain Nabi mereka r. Karena itulah Allah I menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/14)
Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, baik berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan beliau Rasulullah r dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah r sendiri juga telah memberi peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam hadits Abdullah ibnu Mas’ud z beliau Nabi r bersabda:
Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata tentang ayat di atas: “Hal ini merupakan kenikmatan Allah I yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah I telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain Nabi mereka r. Karena itulah Allah I menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/14)
Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, baik berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan beliau Rasulullah r dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah r sendiri juga telah memberi peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam hadits Abdullah ibnu Mas’ud z beliau Nabi r bersabda:
“Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 25 dan hadits ini shahih sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t)
Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al-’Irbadh Ibnu Sariyah z.
Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali, berdasarkan sabda Nabi r:
Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al-’Irbadh Ibnu Sariyah z.
Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali, berdasarkan sabda Nabi r:
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak.”
Kata Al-Imam An-Nawawi t: “Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid’ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama.” (Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid’ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid’ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan, akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
Kata Al-Imam An-Nawawi t: “Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid’ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama.” (Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid’ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid’ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan, akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak.”
Hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar’i. Sama saja baik dia yang membuat bid’ah tersebut atau dia hanya sekedar melakukan bid’ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian keterangan ini juga disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Shahih Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali t berkata: “Dalam sabda Nabi r: ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah, di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya, apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar’i, cocok dengan hukum syar’i maka amalan itu diterima. Sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar’i maka amalan itu tertolak.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/177)
Hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar’i. Sama saja baik dia yang membuat bid’ah tersebut atau dia hanya sekedar melakukan bid’ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian keterangan ini juga disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Shahih Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali t berkata: “Dalam sabda Nabi r: ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah, di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya, apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar’i, cocok dengan hukum syar’i maka amalan itu diterima. Sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar’i maka amalan itu tertolak.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/177)
Pembagian Amalan
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah1.
a. Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah yang ada dalam pelaksanaannya: “Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkanya (memerintahkannya).”
Namun dari sisi diterima atau ditolaknya amalan ibadah tersebut, maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya:
q Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah I tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Nabi r melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah I, kemudian beliau r dengan serta-merta memerintahkan orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari no. 6704)
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah1.
a. Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah yang ada dalam pelaksanaannya: “Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkanya (memerintahkannya).”
Namun dari sisi diterima atau ditolaknya amalan ibadah tersebut, maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya:
q Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah I tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Nabi r melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah I, kemudian beliau r dengan serta-merta memerintahkan orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di Baitullah, namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain Baitullah seperti di kuburan wali atau yang lainnya.
- Pelaksanaan haji di luar bulan haji.
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya, padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.
- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.
2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya:
- Beribadah di sisi Ka’bah dengan siulan, tepuk tangan, dan telanjang.
- Mendekatkan diri kepada Allah I dengan mendengarkan musik/ nyanyian dan minum khamr.
Amalan seperti ini batil, tidak diterima, bahkan ini merupakan kebid’ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah I:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya?” (Asy-Syuura: 21)
3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya:
3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya:
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah I ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci2.
4. Mengurangi amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats, maka shalatnya itu batal karena wudhu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan mengerjakannya sendirian. Maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah.
b. Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada: “Hukum asal muamalah itu boleh/ halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarang dan mengharamkannya).”
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut:
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah r, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah r untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam Kitabullah. Rasulullah r pun menjawab permintaan mereka:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun.”
Lalu beliau r memerintahkan kepada salah seorang shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Al-Imam Muslim dalam Shahih Muslim no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada: “Hukum asal muamalah itu boleh/ halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarang dan mengharamkannya).”
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut:
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah r, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah r untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam Kitabullah. Rasulullah r pun menjawab permintaan mereka:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun.”
Lalu beliau r memerintahkan kepada salah seorang shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Al-Imam Muslim dalam Shahih Muslim no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
- Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
- Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak. Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah, nikah tanpa wali atau menikahi seorang perempuan yang masih dalam naungan suaminya.
- Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah I, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan sebagainya.
- Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya. Namun bila ia ridha akad tersebut sah.
Faidah Hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya:
1. Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama.
2. Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut.
3. Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada yang kurang dan tidak butuh koreksi atau protes terhadapnya.
4. Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
5. Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyiah (bid‘ah yang jelek).
6. Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya:
1. Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama.
2. Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut.
3. Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada yang kurang dan tidak butuh koreksi atau protes terhadapnya.
4. Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
5. Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyiah (bid‘ah yang jelek).
6. Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Pembahasan ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab beliau Jami’ul ‘Ulum wal Hikam yang kami ringkaskan dengan memberikan beberapa tambahan
2 Dan yang bisa melihat keadaan-keadaan seperti ini adalah seseorang yang mengerti ilmu sehingga di sini kami menganjurkan untuk menuntut ilmu syar‘i dan berhati-hati dari menambah amalan ibadah. Sebagai tambahan faidah, guru kami Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam salah satu majelis beliau yang mubarak: “Ibadah tidaklah bisa dikatakan batal oleh seorang pun sampai ada dalil yang menyatakan batalnya ibadah tersebut sehingga kita jangan bermudah-mudah menyatakan batalnya satu ibadah tanpa dalil syar’i.” (demikian ucapan beliau yang kami nukilkan secara makna)
2 Dan yang bisa melihat keadaan-keadaan seperti ini adalah seseorang yang mengerti ilmu sehingga di sini kami menganjurkan untuk menuntut ilmu syar‘i dan berhati-hati dari menambah amalan ibadah. Sebagai tambahan faidah, guru kami Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam salah satu majelis beliau yang mubarak: “Ibadah tidaklah bisa dikatakan batal oleh seorang pun sampai ada dalil yang menyatakan batalnya ibadah tersebut sehingga kita jangan bermudah-mudah menyatakan batalnya satu ibadah tanpa dalil syar’i.” (demikian ucapan beliau yang kami nukilkan secara makna)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Sumber : Majalah Asy Syariah