Rabu, 18 April 2012

Meraih Kemulian Hakiki Dengan Ilmu Syar'i


"Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal" 

Sejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutus Rasulullah sholallahu alaihi wasallam sangatlah jauh dari petunjuk Ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliyyah (kebodohan). 

Ketika kehidupan umat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin Abdillah sholallahu alaihi wasallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliyahan yang gelap gulita menuju kehidupan islami yang terang benderang. 

Islam adalah agama yang sarat (penuh) dengan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang terdapat di dalamnya adalah wahyu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kepada Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam dengan perantara malaikat Jibril alahissallam. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya): 
"Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan."(An-Najm: 3-4) 

Dengan ilmu inilah beliau sholallahu alaihi wasallam tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam adalah seorang Nabi yang terakhir dan sekaligus Rasul yang diutus kepada umat manusia dan jin. Dan para nabi tidaklah meninggalkan warisan kepada umatnya berupa harta kekayaan, akan tetapi yang mereka wariskan adalah "ilmu agama/ilmu syar'i". Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwasanya ulama adalah pewaris para nabi, karena mereka telah mengambil apa yang telah diwariskan oleh para nabi berupa ilmu syar'i. Mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan mulia, pembimbing bagi segenap manusia menuju jalan yang lurus, dan juga penerang disaat manusia berada dalam kegelapan. 


Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda: 
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mendapatkan bagian yang amat besar."(HR. At Tirmidzi, no. 2606, Abu Dawud, no. 3157, dan Ibnu Majah no. 219) 

Cukuplah kemuliaan bagi ilmu, dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam sebagai nabi pilihan untuk berdoa memohon tambahan ilmu, bukan memohon tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
"Katakanlah (ya Muhammad): "Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku."(Thaha: 114) 

Masih banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu. Sehingga cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas dari dalil-dalil yang ada. 
Semoga menjadi dari kami pribadi maupun pembaca untuk meraih kemuliaan hakiki tersebut. 

Oleh karena itu, salah seorang ulama terkemuka bernama Al-Imam Al-Bukhari membuat kesimpulan yang amat tepat: 
"Al-Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal" dan dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
"Maka ilmuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu."(Muhammad: 19) 
Maka dimulailah (perintah-Nya itu) dengan Al-Ilmu." 

Kesimpulan ini, beliau katakan ketika memberi judul suatu Bab pada Kitab Al-Ilmu dalam kitab beliau yang mulia "Shahihul Bukhari". 

Sudah barang tentu di dalam perkataan beliau ini terkandung kaidah penting yang sangat bermanfaat dan perlu untuk kita ketahui bersama. Semoga dengan mengetahuinya bisa bermanfaat bagi kita semua. 

Al Hafizh Ibnu Hajar Asy Syafi'i menukil penjelasan Al Iman Ibnu Munir/Munayyir dalam Fathul Bari 1/216 tentang alasan mengapa Al-Imam Al-Bukhari membuat Bab Khusus ini. "Al-Imam Al-Bukhari memaksudkan dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan." 

Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata: 
"Al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan ayat ini (Muhammad: 19) atas wajibnya mengawali dengan ilmu sebelum berkata dan beramal. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahawa berilmu terlebih dahulu, baru kemudian beramal setelahnya sebagai langkah kedua. 
Dan juga secara dalil 'aqliy (logika) menunjukkan bawa 'ilmu haruslah sebelum berkata dan beramal'. Hal itu disebabkan perkataan dan amalan tidak akan benar dan diterima sampai perkataan dan amalan tersebut mencocoki syariat. Manusia tidaklah mungkin mengetahui bahwa amalnya mencocoki syariat kecuali dengan ilmu."(Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 27-28) 

Asy-Syaikh Shalih bin 'Abdul 'Aziz Alusy Syaikh berkata: 
"Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka pelakunya akan diberkahi walaupun perkaranya itu kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu walaupun perkaranya itu sebesar gunung, namun itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan. . . 
Dan sungguh! Amalan yang sebesar dzarah (sekecil apapun) namun didasari ilmu, maka ini lebih besar nilainya daripada amalan laksana gunung tapi tanpa ilmu. Dan sesungguhnya ilmu itu tujuan puncak yang terpenting dan harus diutamakan dari segala sesuatu. Khususnya ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, meluruskan aqidah, memperbaiki hati."(Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 11-12) 

Larangan dan Bahaya Berkata dan Beramal Tanpa Ilmu 

Berikut ini adalah dalil-dalil yang menegaskan larangan berkata dan beramal tanpa ilmu; 
1. QS. Al Isra: 36 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya): 
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabnya." 

Larangan dalam ayat ini, yaitu "mengikuti" tanpa dasar ilmu baik itu dalam berkata atau pun beramal. (Lihat Tafsir Taisirul Karimirrahman, karya Asy-Syaikh As-Sa'di) 
Larangan ini Allah Subhanahu wa Ta'ala perkuat dengan kalimat setelahnya: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya.", maksudnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar segala pendengaran, melihat segala penglihatan, mengetahui segala rahasia hati. Karena Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang tersembunyi apalagi yang tampak. 

Sehinga setiap ucapan dan amalan haruslah didasari dengan ilmu, karena pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. 

2. QS. Al A'raf: 33 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya): 
"Katakanlah: "Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan mengatakan (mengada-adakan) terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." 

Sebagaimana yang telah kita pahami, bahwa setiap perkataan tanpa dasar ilmu itu dilarang menurut agama. Hanya saja pada ayat di atas menegaskan bahwa manakala perkataan tanpa dasar ilmu itu dikaitkan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka larangan tersebut semakin keras. Bahkan, ulama mengatakan bahwa dosa berkata tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa dasar ilmu itu lebih besar daripada dosa menjadikan sekutu (kesyirikan) kepada Allah. Padahal syirik itu adalah dosa yang paling besar, maka hal ini menunjukkan betapa besarnya dosa berkata tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa dasar ilmu. 

Sehingga setiap ucapan haruslah didasari dengan ilmu terlebih lagi terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

3. QS. Al Kahfi: 103-104 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya): 
"Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya." 

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengkabarkan tentang adanya golongan orang yang paling merugi yaitu kondisi orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu yang benar. Amalan mereka pun sia-sia. Sehingga mereka itulah orang yang palinp merugi. 

Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan amalan-amalan mereka itu bagaikan debu berterbangan, dalam firman-Nya (artinya): 
"Dan Kami datangkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amalan itu (bagaikan) debu yang berterbangan."(Al Furqan: 23) 

Demikian pula dalil-dalil dari hadits Rasulullah sholallahu alaihi wasallam, diantaranya: 
Hadits dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda: 
"Barangsiapa yang beramal tidak di atas bimbinganku (tanpa dasar ilmu, pent) maka amalan itu tertolah."(HR. Al Bukhari no. 3297 dan Muslim no. 1718, dari lafadz Al Imam Muslim) 

Bimbingan Rasulullah sholallahu alaihi wasallam adalah ilmu itu sendiri. Barangsiapa yang beramal tanpa mengikuti bimbingan Rasulullah sholallahu alaihi wasallam, maka berarti ia beramal tanpa dasar ilmu, sehingga amalan tersebut pun tertolak 'alias' tidak diterima olah Allah subhanahu wa Ta'ala. Baik itu amalan yang terkait dengan qauliyyah (perkataaan) ataupun terkait dengan fi'liyyah (perbuatan). 

Ada tiga orang yang berkunjung ke rumah istri nabi sholallahu alaihi wasallam menanyakan perihal ibadah beliau sholallahu alaihi wasallam. Ketika disampaikan tentang ibadah beliau, mereka merasa bahwa ibadah yang telah mereka lakukan kurang berarti dibanding ibadahnya Rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Maka ketiganya bertekad; yang pertama bertekad shalat tahajjud semalam suntuk, yang kedua bertekad shaum (berpuasa) terus menerus, yang ketiga bertekad tidak akan menikah selamanya. Mendengar hal itu, Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda: 
"Kaliankah yang berkata begini dan begitu?, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah, namun aku bershaum dan aku pun pernah tidak bershaum, aku shalat malam dan aku pun juga tidur, demikian pula aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku."(HR. Al Bukhari, no. 4675) 

Suatu ketika Rasulullah sholallahu alaihi wasallam melihat seseorang yang berwudhu tanpa mencuci tumitnya. Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda: 
"Kecelakaan bagi orang-orang yang tidak mencuci tumitnya, tempat mereka adalah di an naar (neraka)."(HR. Muslim, no. 242, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu) 

Wudhu adalah ibadah yang mulia bahkan memiliki keutamaan yang banyak. Namun bila berwudhu tanpa dasar ilmu tidak akan mendapatkan kemuliaannya, justru akan menuai petaka. 

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami mengajak para pembaca melalui media ini untuk bersama-sama melandasi setiap ucapan dan perbuatan kita dengan dasar ilmu. 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa berilmu sebelum berkata dan beramal. Dan menolong kita untuk meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat dengan mempelajari ilmu agama islam ini yang bersumberkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Shahabat Nabi sholallahu alaihi wasallam di bawah bimbingan Ulama Pewaris Nabi. 
Amin Ya Rabbal 'Alamin 

Disalin dari : Buletin Islam Al Ilmu Edisi : 22/V/V/1428