Apabila seorang muslim telah berbai’at kepada pemimpin yang sah, maka konsekuensi dari bai’at tersebut adalah:
1) Mendengar dan taat
Telah kami sebutkan sebagian dalil tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang sah. Namun ada beberapa keadaan di mana seseorang tidak wajib untuk menaati pemimpin. Di antaranya:
a) Apabila pemimpin memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 6726, Muslim no. 1840, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.”
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Mendengar dan taat adalah benar selama tidak diperintah melakukan kemaksiatan. Jika diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2796, Muslim no. 1839, dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
b) Di luar batas kemampuan. Sebagaimana perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Adalah kami jika berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, beliau berkata kepada kami: ‘Sesuai kemampuan kalian’.” (HR. Al-Bukhari no. 6776)
c) Jika terlihat kekufuran yang nyata dan jelas dari pemimpin tersebut. Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) membai’at kami agar senantiasa mendengar dan taat baik di saat kami semangat ataupun terpaksa, sulit ataupun mudah, serta tatkala mereka merampas hak-hak kami, dan agar kami tidak melepaskan ketaatan kepadanya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki hujjah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6647, Muslim no. 1709)
Hadits ini dengan tegas menunjukkan bahwa selama imam adalah seorang muslim, maka wajib taat kepadanya meskipun dia fasiq dan zalim. Di sinilah letak ketergelinciran kaum Khawarij, yang terlalu mudah memvonis kafir terhadap penguasa yang zalim, dengan sebab berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa melihat rincian permasalahannya.
2) Mendoakan kebaikan untuk penguasa
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata, “Jikalau sekiranya aku memiliki doa yang dikabulkan maka aku tidak memberikannya kecuali kepada imam (penguasa).” Ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Ali (kunyah Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu, red.)?” Beliau menjawab, “Mengapa aku tidak menjadikannya untuk diriku? (Karena) maslahatnya tidak melampaui diriku. Namun jika aku menjadikannya untuk imam, maka kebaikan seorang imam adalah kebaikan bagi para hamba (masyarakat) dan negeri.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 8/91)
Al-Barbahari rahimahullahu mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia seorang pengikut hawa nafsu. Jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah, Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahari, hal. 212, bersama Irsyadus Sari, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu)
Al-’Allamah An-Najmi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Barbahari tersebut: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Al-Imam Al-Barbahari. Ini adalah tanda yang jelas bagi kaum hizbiyyun, bahwa mereka mendoakan kejelekan untuk penguasa dan tidak mendoakan kebaikan.” (Irsyadus Sari, An-Najmi, hal. 212)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Mendoakan kebaikan untuk penguasa termasuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling utama dan bentuk ketaatan yang paling afdhal.” (Muraja’at fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri, Asy-Syaikh Ibnu Baz hal. 30. Lihat kitab Ittikhadzul Qur’an Al-Karim Asasan, Shalih As-Sadlan hal. 45, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
3) Menasihati penguasa dengan cara yang hikmah
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata:
مِنْ مُقْتَضَى الْبَيْعَةِ النُّصْحُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ، وَمِنَ النُّصْحِ الدُّعَاءُ لَهُ بِالتَّوْفِيقِ وَالْهِدَايَةِ وَصَلَاحِ النِّيَّةِ وَالْعَمَلِ وَصَلَاحِ الْبِطَانَةِ
“Di antara konsekuensi bai’at adalah menasihati waliyyul amri. Di antara bentuk nasihat adalah mendoakan kebaikan untuknya agar diberi taufik, hidayah, keshalihan niat dan amal, serta mendapatkan sahabat yang shalih.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz, 8/390, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa tentang satu hal, maka jangan dia menampakkannya secara terang-terangan. Hendaknya dia mengambil tangannya dan berduaan dengannya. Jika dia menerima maka itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, 2/522, dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm radhiyallahu ‘anhu)
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
1) Mendengar dan taat
Telah kami sebutkan sebagian dalil tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang sah. Namun ada beberapa keadaan di mana seseorang tidak wajib untuk menaati pemimpin. Di antaranya:
a) Apabila pemimpin memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 6726, Muslim no. 1840, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.”
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Mendengar dan taat adalah benar selama tidak diperintah melakukan kemaksiatan. Jika diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2796, Muslim no. 1839, dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
b) Di luar batas kemampuan. Sebagaimana perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Adalah kami jika berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, beliau berkata kepada kami: ‘Sesuai kemampuan kalian’.” (HR. Al-Bukhari no. 6776)
c) Jika terlihat kekufuran yang nyata dan jelas dari pemimpin tersebut. Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) membai’at kami agar senantiasa mendengar dan taat baik di saat kami semangat ataupun terpaksa, sulit ataupun mudah, serta tatkala mereka merampas hak-hak kami, dan agar kami tidak melepaskan ketaatan kepadanya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki hujjah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6647, Muslim no. 1709)
Hadits ini dengan tegas menunjukkan bahwa selama imam adalah seorang muslim, maka wajib taat kepadanya meskipun dia fasiq dan zalim. Di sinilah letak ketergelinciran kaum Khawarij, yang terlalu mudah memvonis kafir terhadap penguasa yang zalim, dengan sebab berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa melihat rincian permasalahannya.
2) Mendoakan kebaikan untuk penguasa
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata, “Jikalau sekiranya aku memiliki doa yang dikabulkan maka aku tidak memberikannya kecuali kepada imam (penguasa).” Ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Ali (kunyah Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu, red.)?” Beliau menjawab, “Mengapa aku tidak menjadikannya untuk diriku? (Karena) maslahatnya tidak melampaui diriku. Namun jika aku menjadikannya untuk imam, maka kebaikan seorang imam adalah kebaikan bagi para hamba (masyarakat) dan negeri.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 8/91)
Al-Barbahari rahimahullahu mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia seorang pengikut hawa nafsu. Jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah, Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahari, hal. 212, bersama Irsyadus Sari, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu)
Al-’Allamah An-Najmi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Barbahari tersebut: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Al-Imam Al-Barbahari. Ini adalah tanda yang jelas bagi kaum hizbiyyun, bahwa mereka mendoakan kejelekan untuk penguasa dan tidak mendoakan kebaikan.” (Irsyadus Sari, An-Najmi, hal. 212)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Mendoakan kebaikan untuk penguasa termasuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling utama dan bentuk ketaatan yang paling afdhal.” (Muraja’at fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri, Asy-Syaikh Ibnu Baz hal. 30. Lihat kitab Ittikhadzul Qur’an Al-Karim Asasan, Shalih As-Sadlan hal. 45, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
3) Menasihati penguasa dengan cara yang hikmah
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata:
مِنْ مُقْتَضَى الْبَيْعَةِ النُّصْحُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ، وَمِنَ النُّصْحِ الدُّعَاءُ لَهُ بِالتَّوْفِيقِ وَالْهِدَايَةِ وَصَلَاحِ النِّيَّةِ وَالْعَمَلِ وَصَلَاحِ الْبِطَانَةِ
“Di antara konsekuensi bai’at adalah menasihati waliyyul amri. Di antara bentuk nasihat adalah mendoakan kebaikan untuknya agar diberi taufik, hidayah, keshalihan niat dan amal, serta mendapatkan sahabat yang shalih.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz, 8/390, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa tentang satu hal, maka jangan dia menampakkannya secara terang-terangan. Hendaknya dia mengambil tangannya dan berduaan dengannya. Jika dia menerima maka itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, 2/522, dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm radhiyallahu ‘anhu)
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Sumber : Majalah AsySyariah