Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, manusia terbaik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menyampaikan risalah-Nya kepada segenap manusia, membimbing dan menunjukkan mereka kepada cahaya Islam, iman, serta ketaatan kepada-Nya.
Dengan sifat amanah yang melekat pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam , ajaran dan risalah Islam ini telah tersampaikan kepada umat dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali telah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya; dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dan menjauh darinya.
Ini semua merupakan nikmat besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-Nya, dengan diutusnya seorang rasul untuk mengajak dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus, jalan menuju kemenangan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kadar kecintaan yang lebih besar daripada kecintaannya kepada orang tuanya sendiri, anaknya, dan manusia seluruhnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga dia menjadikan aku sebagai seorang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Seorang mukmin itu tidaklah menjadi seseorang yang benar-benar beriman sampai dia mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kecintaannya kepada seluruh makhluk, dan kecintaan kepada Rasulullah itu mengiringi kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (Allah).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengancam orang-orang yang lebih mementingkan kecintaannya kepada urusan dunia daripada kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ancaman akan mendatangkan adzab kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluarga kalian, dan juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah (adzab Allah) sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]
Bahkan terhadap dirinya pun, seorang mukmin yang jujur dalam keimanannya akan lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada diri dan jiwanya sendiri.
Pada suatu ketika, shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”
Yakni ‘Umar radhiyallahu ‘anhu benar-benar mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu. Kecuali dirinya, shahabat lebih mencintai dirinya sendiri daripada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .
Ketika mendengar penuturan salah seorang shahabatnya yang mulia tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
لاَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ.
“Tidak (wahai ‘Umar), demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bahkan hendaknya aku juga menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Setelah mendengar nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, shahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan:
“Sesungguhnya sekarang ini, demi Allah, engkau benar-benar seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
الآنَ يَا عُمَرُ.
“Sekarang wahai ‘Umar.” [HR. Al-Bukhari]
Yakni sekarang, beliau benar-benar telah merealisasikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan melebihkan kecintaannya kepada beliau daripada kecintaannya kepada siapapun, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Bukti Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk kewajiban yang paling agung dalam agama ini.” [Ar-Raddu ‘alal Akhna-i, hal. 231]
Tentunya, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah sekedar pengakuan yang hanya digembar-gemborkan saja, namun cinta rasul merupakan sebuah prinsip agung yang membutuhkan bukti dari setiap orang yang mengaku cinta kepada junjungannya tersebut.
Jika dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para shahabat benar-benar merealisasikan cintanya kepada beliau dengan berjuang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengorbankan harta, jiwa, dan bahkan keluarga mereka sendiri untuk menjalankan syariat Islam demi tegaknya agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Ketika datang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bersegera untuk mengamalkannya, sami’na wa atha’na. Pun ketika mendengar larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dari suatu perbuatan tertentu, mereka bersegera untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan tersebut.
Kini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, namun kewajiban untuk mencintai beliau tetap berlaku bagi umat Islam yang datang sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Di antara hal-hal yang bisa dilakukan oleh setiap mukmin untuk membuktikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
1. Menaati perintah dan menjauhi larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Tidak sepatutnya bagi seseorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ketika mendengar perintahnya, ia enggan untuk melaksanakannya padahal ia mampu; atau mendengar larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ia tetap bergelimang dalam perbuatan yang dilarang beliau. Orang yang mengaku cinta Rasul hendaknya menjadi orang pertama yang menaati beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.
“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan. Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang enggan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang menaatiku, dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dialah orang yang enggan.” [HR. Al-Bukhari]
2. Membenarkan semua berita yang disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada keraguan sedikitpun
Setiap berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , wajib untuk diyakini kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun, baik berita yang beliau sampaikan tersebut tentang peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau maupun yang akan datang, bahkan berita tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti pada hari kiamat dan sesudahnya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul yang sabda-sabdanya berdasarkan wahyu sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an (artinya):
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
3. Menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan bimbingan dan petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Semua bentuk ritual ibadah dalam agama ini hendaklah ditunaikan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena barangsiapa yang mengamalkan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ibadahnya itu akan sia-sia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan termasuk bagian dari perintah (petunjuk) kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]
4. Mendahulukan perkataan dan ketentuan syariat beliau daripada perkataan dan pendapat seorang pun selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
Tidak boleh bagi siapapun untuk meragukan atau bahkan menolak dan meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta ketentuan syariat yang telah beliau tetapkan disebabkan ucapan atau pendapat seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat Islam telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (perkataan dan ketentuan syariat) dari Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan perkataan seseorang.” [Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 50]
Siapapun dia, baik ustadz, kyai, maupun tokoh ulama pun, jika perkataan dan pendapatnya menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih), maka harus ditinggalkan dan wajib untuk mengikuti apa yang telah disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah (Hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
5. Mencintai orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai
Para pembaca, di antara bentuk kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga adalah mencintai orang-orang yang beliau cintai, yaitu para shahabat, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Termasuk di antara orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai adalah Ahlul Bait beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (yang termasuk di dalamnya adalah istri-istri beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam), dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Di samping mencintai mereka, hendaknya juga mendoakan kebaikan dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]
6. Berpegang teguh dengan sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Berikutnya, kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang yang mengaku cinta kepada nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mencintai dan membela sunnah-(ajaran)nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta berpegang teguh dengannya, dan kemudian berupaya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus membenci dan berusaha untuk membersihkan umat ini dari segala bentuk pemikiran, aqidah, akhlaq, mu’amalah dan ritual ibadah dalam agama ini yang menyelisihi ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam serta tidak pernah dicontohkan olehnya.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Di antara bentuk kecintaan kepada beliau adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariatnya, berangan-angan untuk berjumpa beliau semasa hidupnya, dan kemudian dia mengorbankan harta dan jiwanya demi membela beliau.” [Syarh Shahih Muslim]
7. Bershalawat kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Termasuk bukti kecintaan seorang mukmin terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan banyak bershalawat kepadanya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan.
Bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ibadah, maka harus sesuai dengan apa yang telah beliau contohkan, bukan dengan shalawat-shalawat yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : buletin-alilmu
Dengan sifat amanah yang melekat pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam , ajaran dan risalah Islam ini telah tersampaikan kepada umat dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali telah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya; dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dan menjauh darinya.
Ini semua merupakan nikmat besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-Nya, dengan diutusnya seorang rasul untuk mengajak dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus, jalan menuju kemenangan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kadar kecintaan yang lebih besar daripada kecintaannya kepada orang tuanya sendiri, anaknya, dan manusia seluruhnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga dia menjadikan aku sebagai seorang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Seorang mukmin itu tidaklah menjadi seseorang yang benar-benar beriman sampai dia mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kecintaannya kepada seluruh makhluk, dan kecintaan kepada Rasulullah itu mengiringi kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (Allah).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengancam orang-orang yang lebih mementingkan kecintaannya kepada urusan dunia daripada kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ancaman akan mendatangkan adzab kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluarga kalian, dan juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah (adzab Allah) sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]
Bahkan terhadap dirinya pun, seorang mukmin yang jujur dalam keimanannya akan lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada diri dan jiwanya sendiri.
Pada suatu ketika, shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”
Yakni ‘Umar radhiyallahu ‘anhu benar-benar mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu. Kecuali dirinya, shahabat lebih mencintai dirinya sendiri daripada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .
Ketika mendengar penuturan salah seorang shahabatnya yang mulia tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
لاَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ.
“Tidak (wahai ‘Umar), demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bahkan hendaknya aku juga menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Setelah mendengar nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, shahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan:
“Sesungguhnya sekarang ini, demi Allah, engkau benar-benar seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
الآنَ يَا عُمَرُ.
“Sekarang wahai ‘Umar.” [HR. Al-Bukhari]
Yakni sekarang, beliau benar-benar telah merealisasikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan melebihkan kecintaannya kepada beliau daripada kecintaannya kepada siapapun, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Bukti Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk kewajiban yang paling agung dalam agama ini.” [Ar-Raddu ‘alal Akhna-i, hal. 231]
Tentunya, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah sekedar pengakuan yang hanya digembar-gemborkan saja, namun cinta rasul merupakan sebuah prinsip agung yang membutuhkan bukti dari setiap orang yang mengaku cinta kepada junjungannya tersebut.
Jika dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para shahabat benar-benar merealisasikan cintanya kepada beliau dengan berjuang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengorbankan harta, jiwa, dan bahkan keluarga mereka sendiri untuk menjalankan syariat Islam demi tegaknya agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Ketika datang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bersegera untuk mengamalkannya, sami’na wa atha’na. Pun ketika mendengar larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dari suatu perbuatan tertentu, mereka bersegera untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan tersebut.
Kini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, namun kewajiban untuk mencintai beliau tetap berlaku bagi umat Islam yang datang sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Di antara hal-hal yang bisa dilakukan oleh setiap mukmin untuk membuktikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
1. Menaati perintah dan menjauhi larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Tidak sepatutnya bagi seseorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ketika mendengar perintahnya, ia enggan untuk melaksanakannya padahal ia mampu; atau mendengar larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ia tetap bergelimang dalam perbuatan yang dilarang beliau. Orang yang mengaku cinta Rasul hendaknya menjadi orang pertama yang menaati beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.
“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan. Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang enggan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang menaatiku, dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dialah orang yang enggan.” [HR. Al-Bukhari]
2. Membenarkan semua berita yang disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada keraguan sedikitpun
Setiap berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , wajib untuk diyakini kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun, baik berita yang beliau sampaikan tersebut tentang peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau maupun yang akan datang, bahkan berita tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti pada hari kiamat dan sesudahnya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul yang sabda-sabdanya berdasarkan wahyu sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an (artinya):
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
3. Menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan bimbingan dan petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Semua bentuk ritual ibadah dalam agama ini hendaklah ditunaikan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena barangsiapa yang mengamalkan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ibadahnya itu akan sia-sia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan termasuk bagian dari perintah (petunjuk) kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]
4. Mendahulukan perkataan dan ketentuan syariat beliau daripada perkataan dan pendapat seorang pun selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
Tidak boleh bagi siapapun untuk meragukan atau bahkan menolak dan meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta ketentuan syariat yang telah beliau tetapkan disebabkan ucapan atau pendapat seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat Islam telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (perkataan dan ketentuan syariat) dari Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan perkataan seseorang.” [Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 50]
Siapapun dia, baik ustadz, kyai, maupun tokoh ulama pun, jika perkataan dan pendapatnya menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih), maka harus ditinggalkan dan wajib untuk mengikuti apa yang telah disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah (Hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
5. Mencintai orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai
Para pembaca, di antara bentuk kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga adalah mencintai orang-orang yang beliau cintai, yaitu para shahabat, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Termasuk di antara orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai adalah Ahlul Bait beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (yang termasuk di dalamnya adalah istri-istri beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam), dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Di samping mencintai mereka, hendaknya juga mendoakan kebaikan dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]
6. Berpegang teguh dengan sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Berikutnya, kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang yang mengaku cinta kepada nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mencintai dan membela sunnah-(ajaran)nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta berpegang teguh dengannya, dan kemudian berupaya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus membenci dan berusaha untuk membersihkan umat ini dari segala bentuk pemikiran, aqidah, akhlaq, mu’amalah dan ritual ibadah dalam agama ini yang menyelisihi ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam serta tidak pernah dicontohkan olehnya.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Di antara bentuk kecintaan kepada beliau adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariatnya, berangan-angan untuk berjumpa beliau semasa hidupnya, dan kemudian dia mengorbankan harta dan jiwanya demi membela beliau.” [Syarh Shahih Muslim]
7. Bershalawat kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Termasuk bukti kecintaan seorang mukmin terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan banyak bershalawat kepadanya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan.
Bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ibadah, maka harus sesuai dengan apa yang telah beliau contohkan, bukan dengan shalawat-shalawat yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : buletin-alilmu