Dalil-dalil yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya menunjukkan bahwa bai’at tersebut tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amri, penguasa sebuah negeri. Baik ia disebut khalifah, presiden, raja, atau yang lainnya. Alasan yang menunjukkan bahwa yang wajib dibai’at adalah seorang penguasa negeri/pemerintah, di antaranya:
1. Konsekuensi dari bai’at seseorang adalah kewajiban mendengar dan taat kepada orang yang dibai’at. Ini merupakan kekhususan penguasa negeri, yang memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, bukan pendiri satu jamaah atau organisasi tertentu, yang tidak memiliki wilayah kekuasaan yang nampak (jelas). Cobalah perhatikan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mendengar dan taat. Contohnya hadits Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
“Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat……”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan taat meskipun (kepada) seorang budak Habasyah.” (HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Al-Baihaqi (10/114) dengan lafadz:
وَإْن تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa meskipun dipukul punggungmu dan dirampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847, dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu)
Perhatikan, seluruh riwayat ini dan masih banyak lagi yang lainnya, semuanya menunjukkan bahwa perintah untuk mendengar dan taat adalah untuk penguasa negeri, bukan pemimpin satu jamaah atau organisasi tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan:
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ، الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ، لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ وَلَا قُدْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ أَصْلاً
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin yang diketahui wujudnya, yang mempunyai kekuasaan yang dengannya mereka mampu mengatur tatanan masyarakat, bukan taat kepada pemimpin yang tidak ada wujudnya dan majhul (tidak dikenal), bukan pula orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.” (Minhajus Sunnah, 1/115)
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang mengambil perjanjian untuk menyetujui semua apa yang dia inginkan, loyal kepada orang yang bersikap loyal kepadanya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan siapa yang melakukan ini maka dia menyerupai Jenghis Khan dan orang yang semisalnya, yang menjadikan setiap orang yang setuju dengannya sebagai teman yang bersikap loyal dan menjadikan orang yang menyelisihinya sebagai musuh yang menentang.” (Majmu’ Fatawa, 28/16)
2. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak satu pun yang dibai’at kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin kaum muslimin, atau perwakilannya di saat beliau mengutus pasukan ke wilayah tertentu. Tidak diketahui bai’at diberikan kepada Abu Bakr, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib g, kecuali setelah mereka diangkat sebagai khalifah kaum muslimin.
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas menyebutkan bahwa jika ada dua bai’at yang ditetapkan, maka salah satunya diperintahkan untuk dibunuh karena telah memecah-belah persatuan kaum muslimin di atas satu pemimpin dan penguasa. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah salah satu dari keduanya.” (HR. Muslim no. 1853 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak boleh mengikat bai’at untuk dua khalifah.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/242)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
“Sempurnakan/penuhi bai’at yang pertama kemudian yang berikutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3268, Muslim no. 1842, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu, ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Makna hadits ini adalah jika seorang khalifah dibai’at setelah adanya khalifah yang pertama, maka bai’at yang pertama sah, wajib untuk dilaksanakan. Sedangkan bai’at yang kedua batil dan haram untuk disempurnakan, serta diharamkan pula mengupayakannya.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/231)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu.” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, ketika menjawab pertanyaan tentang bai’at yang dilakukan jamaah-jamaah, mengatakan, “Bai’at tidak sah kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at (lain) yang bermacam-macam adalah bid’ah, dan ini termasuk sebab perselisihan. Yang wajib bagi kaum muslimin yang tinggal di satu negeri dan satu kekuasaan agar bai’at mereka hanya satu, untuk satu pemimpin. Tidak dibolehkan melakukan bai’at yang beraneka macam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/367)
Berkata pula Asy-Syaikh Muhammad Taqiyyuddin Al-Hilali rahimahullahu: “Tidak disyariatkan bai’at di dalam Islam kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah kaum muslimin.” (Al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama'ah At-Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijari, hal. 138)
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
1. Konsekuensi dari bai’at seseorang adalah kewajiban mendengar dan taat kepada orang yang dibai’at. Ini merupakan kekhususan penguasa negeri, yang memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, bukan pendiri satu jamaah atau organisasi tertentu, yang tidak memiliki wilayah kekuasaan yang nampak (jelas). Cobalah perhatikan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mendengar dan taat. Contohnya hadits Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
“Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat……”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan taat meskipun (kepada) seorang budak Habasyah.” (HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Al-Baihaqi (10/114) dengan lafadz:
وَإْن تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa meskipun dipukul punggungmu dan dirampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847, dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu)
Perhatikan, seluruh riwayat ini dan masih banyak lagi yang lainnya, semuanya menunjukkan bahwa perintah untuk mendengar dan taat adalah untuk penguasa negeri, bukan pemimpin satu jamaah atau organisasi tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan:
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ، الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ، لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ وَلَا قُدْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ أَصْلاً
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin yang diketahui wujudnya, yang mempunyai kekuasaan yang dengannya mereka mampu mengatur tatanan masyarakat, bukan taat kepada pemimpin yang tidak ada wujudnya dan majhul (tidak dikenal), bukan pula orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.” (Minhajus Sunnah, 1/115)
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang mengambil perjanjian untuk menyetujui semua apa yang dia inginkan, loyal kepada orang yang bersikap loyal kepadanya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan siapa yang melakukan ini maka dia menyerupai Jenghis Khan dan orang yang semisalnya, yang menjadikan setiap orang yang setuju dengannya sebagai teman yang bersikap loyal dan menjadikan orang yang menyelisihinya sebagai musuh yang menentang.” (Majmu’ Fatawa, 28/16)
2. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak satu pun yang dibai’at kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin kaum muslimin, atau perwakilannya di saat beliau mengutus pasukan ke wilayah tertentu. Tidak diketahui bai’at diberikan kepada Abu Bakr, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib g, kecuali setelah mereka diangkat sebagai khalifah kaum muslimin.
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas menyebutkan bahwa jika ada dua bai’at yang ditetapkan, maka salah satunya diperintahkan untuk dibunuh karena telah memecah-belah persatuan kaum muslimin di atas satu pemimpin dan penguasa. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah salah satu dari keduanya.” (HR. Muslim no. 1853 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak boleh mengikat bai’at untuk dua khalifah.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/242)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
“Sempurnakan/penuhi bai’at yang pertama kemudian yang berikutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3268, Muslim no. 1842, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu, ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Makna hadits ini adalah jika seorang khalifah dibai’at setelah adanya khalifah yang pertama, maka bai’at yang pertama sah, wajib untuk dilaksanakan. Sedangkan bai’at yang kedua batil dan haram untuk disempurnakan, serta diharamkan pula mengupayakannya.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/231)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu.” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, ketika menjawab pertanyaan tentang bai’at yang dilakukan jamaah-jamaah, mengatakan, “Bai’at tidak sah kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at (lain) yang bermacam-macam adalah bid’ah, dan ini termasuk sebab perselisihan. Yang wajib bagi kaum muslimin yang tinggal di satu negeri dan satu kekuasaan agar bai’at mereka hanya satu, untuk satu pemimpin. Tidak dibolehkan melakukan bai’at yang beraneka macam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/367)
Berkata pula Asy-Syaikh Muhammad Taqiyyuddin Al-Hilali rahimahullahu: “Tidak disyariatkan bai’at di dalam Islam kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah kaum muslimin.” (Al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama'ah At-Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijari, hal. 138)
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Sumber : Majalah AsySyariah